Beberapa waktu lalu, Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Indonesia (IKABI) didukung oleh Essity Indonesia meluncurkan Clinical Practice Guideline – Infeksi Daerah Operasi (IDO).
Hingga saat ini, IDO masih merupakan masalah serius dan menjadi tantangan bagi spesialis bedah di negara berkembang. Untuk diketahui, Di negara berkembang IDO terjadi 8-30% dari semua pasien yang menjalani prosedur bedah dan menjadi penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas setelah operasi.
Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS(K), Dokter Spesialis Bedah Saraf Konsultan & Ketua IKABI pada sambutannya dalam Virtual Media Briefing mengatakan, ”IKABI sebagai organisasi profesi Dokter spesialis bedah di Indonesia senantiasa berupaya mempersatukan semua dokter spesialis bedah dan berpartisipasi aktif dalam meningkatkan mutu pelayanan bedah di Indonesia. Salah satu fokus utama kami adalah penanganan IDO atau Infeksi Daerah Operasi (Surgical Site Infection). Kami sangat gembira dapat meluncurkan Clinical Practice Guideline (CPG) Infeksi Daerah Operasi (IDO) sebagai tata laksana bedah baik bagi dokter spesialis bedah juga dokter spesialis lainnya di seluruh Indonesia. Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada rekan sejawat tim penyusun CPG IDO ini, serta dukungan mitra kami Essity Indonesia, sehingga penyusunan CPG IDO dapat terlaksana dengan baik.”
“Insiden IDO di Indonesia bervariasi antara 2-18% di tahun 2011. Laporan dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2013 menyebutkan insiden IDO pada bedah abdomen sebesar 7,2% dan tahun 2020 dilaporkan 3,4%2 . Data pelaporan insiden IDO di Indonesia masih perlu ditingkatkan. IDO menyebabkan kematian 3 kali lipat lebih tinggi dan beban biaya yang lebih tinggi karena durasi rawat inap yang signifikan lebih tinggi dan diperlukannya intervensi medis tambahan seperti misalahnya operasi ulang, akibat IDO. Untuk mencegah kerugian akibat IDO dan memperlambat laju resistensi antibiotik, tentunya diperlukan langkah-langkah strategis dari berbagai sektor kesehatan. Di bawah naungan pemerintah terutama Kementerian Kesehatan diharapkan adanya pendekatan holistik untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian, dan tanggung jawab profesi dokter terutama bagi dokter spesialis yang melakukan pembedahan tentang pencegahan IDO dan tatalaksana yang tepat berbasis bukti ilmiah yang spesifik karakteristik Indonesia,” lanjut Prof. Andi Asadul.
Gustavo Vega, Commercial Director Essity Indonesia menyatakan,”Guideline ini merupakan bukti nyata IKABI dalam memberikan pelayanan bedah paripurna yang sangat besar manfaatnya bagi pasien dan keluarganya. Sesuai dengan visi Essity, kami berdedikasi untuk meningkatkan kesejahteraan melalui solusi kebersihan dan kesehatan terbaik dan senantiasa bekerjasama erat dengan para stakeholder terkait untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Essity mendukung usaha-usaha untuk mendobrak hambatan terkait dengan pencegahan dan penanganan IDO. Sebagai bagian dari komitmen global, kami melakukan langkah nyata memerangi resistensi antimikroba sebagai salah satu ancaman kesehatan masyarakat di dunia saat ini. Di tahun ini kami memperluas kemitraan tersebut dengan bergabung dalam kelompok lintas industri di World Health Organization yang menyatukan para pakar dan memberikan solusi dalam memerangi resistensi antimikroba di dunia.”
Pada kesempatan yang sama, dr. Syahrifil Syahar, Sp.B(K), FINACS, Dokter Spesialis Bedah Konsultan Trauma & Ketua Tim Editor CPG IDO mengatakan,” Tim Penyusun CPG - IDO terdiri dari 13 dokter bedah perwakilan OPLB yang ditunjuk oleh IKABI yang tersebar di berbagai daerah Indonesia. Tim penyusun resmi mulai bekerja sejak Desember 2020, walaupun di tengah pandemi kegiatan penyusunan terus berlangsung baik dan selesai di bulan Mei 2021. Kami melakukan review intensif terhadap lebih 275 artikel penelitian ilmiah dan guideline terkait IDO yang dimuat dalam publikasi ilmiah dari seluruh dunia. Penyusunan rekomendasi berdasarkan CPG terbaik yang disesuaikan dengan karakteristik Indonesia. Tahap akhir penyusunan juga melibatkan pihak eksternal sebagai peninjau materi secara keseluruhan sebelum akhirnya ditetapkan. CPG ini menghasilkan 47 pernyataan yang dilengkapi dengan rekomendasi-rekomendasi untuk memenuhi tujuan diatas. Pokok bahasan pada CPG meliputi beberapa hal, antara lain pencegahan dan tata laksana (prabedah, intrabedah, pascabedah). Beberapa hal yang berhubungan dengan meningkatnya kejadian IDO juga dijabarkan dalam CPG-IDO ini.” Dr. dr. Warsinggih, Sp.B-KBD, Dokter Spesialis Bedah Konsultan Bedah Digestif & Tim penyusun CPG IDO menjelaskan,”Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dengan IDO yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Faktor risiko tersebut adalah risiko pada penderita terutama dengan komorbid, meliputi hiperglikemia (tingginya kadar glukosa darah yang tidak terkendali), gizi buruk, obesitas, gangguan sirkulasi iskemia (kekurangan suplai oksigen ke organ atau jaringan), hipoksia (kekurangan oksigen dalam jaringan), dan hipotermia (suhu tubuh rendah).
Obesitas merupakan faktor risiko utama sejumlah penyakit yang dapat mempengaruhi keberhasilan operasi. Peningkatan obesitas di Indonesia terjadi signifikan yakni sebesar 14,8% pada data Riskesdas 2013 dan menjadi 21.8% pada Riskedas 2018. Seseorang dengan obesitas memiliki kemungkinan terpapar IDO sebesar 1.1 – 4.4 kali lipat, dengan sebab yang beragam, antara lain karena peningkatan massa lemak mengakibatkan lemahnya sistim imun sehingga pasien rentan terhadap infeksi. Selain faktor risiko pada penderita, di dalam CPG - IDO ini terdapat juga faktor risiko mikroorganisme dan faktor lingkungan ruang operasi serta personil bedah yang dapat diminimalisir untuk menurunkan kejadian IDO.”
”Untuk hasil operasi yang maksimal, semua spesialis bedah yang terlibat dalam perawatan luka pascaoperasi harus memahami dan melakukan pengawasan dalam proses penyembuhan luka operasi termasuk pemilihan balutan pascabedah. Terkait tatalaksana pascabedah, CPG IDO ini mengeluarkan rekomendasi antara lain melakukan penggantian balutan dan membersihkan luka 48 jam pascabedah dan melakukan perawatan luka menggunakan balutan interaktif (modern dressing, advanced dressing) yang dilakukan secara selektif dan sesuai indikasi,”tambah Dr. Warsinggih.
Terkait perawatan luka paska operasi, Dr. Warsinggih menekankan pentingnya menjelaskan kepada pasien atau keluarganya untuk menjaga kondisi luka operasi agar tetap terjaga dengan baik. Untuk penyembuhan yang optima beberapa hal dapat dilakukan yaitu: pertama, ikuti dengan seksama petunjuk penggunaan obat yang diberikan Dokter dan konsumsi makanan dan minuman yang bergizi. Kedua, jangan dikelupas apabila terdapat bagian luka yang gatal atau kering. Biasanya relatif aman untuk mandi setelah 48 jam pascabedah, bila luka operasi ditutup menggunakan balutan / perban yang tahan air (waterproof). Ketiga, jika diperbolehkan untuk mengganti balutan / perban sendiri, cuci tangan dengan sabun terlebih dahulu dan usahakan tidak menyentuh area luka operasi. Pasang perban secara hati-hati, jangan menyentuh bagian dalam dari balutan, dan tidak mengoleskan krim antiseptik di bawah balutan/perban. Terakhir, jika ada kecurigaan pada luka, misalnya bertambah nyeri, atau berbau tidak sedap, segera konsultasikan kepada Dokter atau tenaga medis lainnya” ungkapnya.
IDO dapat terjadi dalam kurun waktu 30 hari paska bedah bahkan 1 tahun bila menggunakan implant. Bagi para dokter spesialis bedah khususnya di negara berkembang, IDO hingga kini masih menjadi masalah serius dan penuh tantangan disebabkan resistensi antibiotik yang tinggi. (red)