Setiap orangtua ingin memerlakukan anaknya dengan
sikap menghargai dan tenggang rasa, sebagaimana mereka memperlakukan orang
dewasa lainnya. Kenyataannya, banyak orangtua yang terbawa emosi ketika
menghadapi anak yang tak menurut.
Contoh kasus yang banyak ditemui adalah, saat
berada di tempat perbelanjaan, ketika orangtua menolak rengekan anak yang minta
dibelikan sesuatu dan menjelaskan dengan baik alasan menolak permintaan anak.
Parahnya, rengekan anak semakin menjadi-jadi bahkan bisa berkembang menjadi
tantrum. Di saat inilah, orangtua sering lepas kendali dan marah terhadap anak.
Orangtua biasanya akan menaikkan nada suaranya dan memberikan ultimatum kepada
anak. Bahkan dalam beberapa kasus, orangtua tak dapat menahan diri dan memukul
sang anak.
Mengontrol kemarahan memang tantangan yang umum
bagi orangtua. Karena itu, berbagai hal terkait kemarahan akan kami kupas dalam
pembahasan berikut, agar bisa menolong orangtua untuk lebih memahami dan
mengelola kemarahannya dengan lebih baik, serta terdorong untuk mengganti
kemarahan dengan teknik disiplin lain yang lebih efektif dalam mendidik anak.
Pemicu Kemarahan
Kemarahan biasanya muncul bila ada harapan atau
ekspektasi yang tidak terpenuhi. Dalam konteks ini, respon berupa kemarahan
terjadi secara natural. Fenomena tersebut terjadi sejak manusia dilahirkan.
Misalnya, bayi yang lapar atau mengantuk, bila kebutuhannya tidak segera
terpenuhi, akan bereaksi dengan kemarahan. Karena bayi belum dapat
berkata-kata, kemarahannya diekspresikan melalui tangisan atau jeritan yang
sering diikuti gerakan kaki dan tangan. Seiring bertambahnya usia, bentuk
kemarahan anak semakin bervariasi seiring berkembangnya kemampuan verbal dan
motoriknya. Bentuk ekspresi perasan marah batita dan balita umumnya tak hanya
pada menangis dan menjerit. Mereka sudah mulai dapat mengekspresikan emosinya
dengan kata-kata, gerakan kaki dan tangan yang lebih bervariasi, seperti melempar
benda misalnya. Bila sejak masa ini anak tidak mulai diajarkan untuk mengelola
perasaan marahnya dengan baik, maka pola ekspresi kemarahannya yang tidak
terkendali tersebut akan terbawa terus sampai ia remaja dan dewasa.
Dampak Negatif Kemarahan
Pada orang dewasa, kemarahan tidak hanya muncul
karena kurangnya kemampuan mengendalikan emosi. Dalam beberapa kasus, khususnya
orangtua, kemarahan sengaja ditunjukkan karena orangtua merasa bahwa hal
tersebut adalah satu-satunya cara agar anak dapat melakukan apa yang diinginkan
oleh orangtua. Walau dalam jangka pendek mungkin terlihat efektif, karena anak
mungkin menuruti apa diinginkan orangtua saat orangtua marah, namun dampak
negatif kemarahan terhadap perkembangan anak melebihi dampak lainnya yang seolah-olah
positif tadi. Berikut adalah beberapa dampak negatif dari kemarahan orangtua
kepada anak.
1. Dalam konteks jangka panjang, kemarahan tidak
menolong anak untuk belajar memilih apa yang baik dan benar. Sejak usia tiga
tahun, anak memiliki kemampuan untuk membuat pilihan berdasarkan pemikiran,
bukan sekedar berdasarkan intuisi atau refleks semata, seperti ketika mereka
masih berusia di bawah tiga tahun. Yang diperlukan anak sejak usia tersebut
adalah pengalaman-pengalaman yang melatihnya untuk memutuskan berdasarkan apa
yang ia yakini sebagai hal yang baik dan benar, bukan berdasarkan keputusan
mana yang tidak membuat orangtua marah. Untuk itu, yang ia butuhkan bukan
kemarahan, melainkan kejelasan aturan dan konsekuensi bila ia berhasil atau
gagal memenuhi aturan tersebut, serta konsistensi penerapan konsekuensi positif
(reward) dan negatif (punishment).
2. Saat orangtua mengekspresikan kemarahan pada
anak akibat perilaku anak yang tidak pada tempatnya, orangtua sebenarnya sedang
memfokuskan pikiran dan perhatiannya kepada sang anak. Pemberian perhatian yang
penuh ini, walau dalam bentuk yang tidak menyenangkan, dalam beberapa kasus,
justru dapat mendorong anak untuk terus melakukan perbuatan tersebut.
3. Beberapa penelitian telah mengindikasikan bahwa
kemarahan mengganggu kemampuan seseorang untuk berpikir. Oleh karena itu, bila
orangtua dikuasai perasaan marah, maka kecil kemungkinan ia dapat
mengomunikasikan dengan efektif apa yang ia ingin anaknya pelajari. Bahkan
tidak tertutup kemungkinan, dalam kondisi demikian, apa yang disampaikan
orangtua kepada anak malah mungkin menimbulkan luka dalam hati anak.
4. Dampak negatif terbesar dari kemarahan terjadi
bila orangtua sering tidak dapat mengendalikan perasaan marahnya terhadap anak.
Dalam kontes ini, anak justru dicontohkan pengelolaan emosi yang sebenarnya
tidak orangtua inginkan untuk ditiru anak. Bila kemarahan orangtua sering tidak
terkendali, maka walaupun orangtua berulang-ulang memberikan nasihat kepada
anak untuk mengelola perasaan marahnya dengan baik, kemungkinan besar anak akan
meniru pola ekspresi kemarahan yang tidak terkendali yang dicontohkan orangtua.
Hal ini karena anak belajar terutama dari contoh yang dimodelkan oleh orangtua.
Belajar mengelola kemarahan dengan baik adalah
salah satu hal terpenting yang dapat diajarkan orangtua kepada anaknya. Agar
anak dapat belajar mengelola perasaan marahnya dengan baik, anak perlu melihat
model pengelolaan tersebut pada diri orangtuanya, dimana orangtua dapat
bersikap tenang ketika menghadapi berbagai situasi negatif yang dapat memicu
kemarahan, termasuk ketika memberikan hukuman kepada anak. Walau tidak mudah,
namun hal tersebut sangat mungkin dilakukan karena sebagai orang dewasa,
orangtua memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan anak untuk mengelola
perasaan marah. Tentu saja, sebagai manusia, pasti akan ada saat di mana
orangtua gagal mengelola perasaan marahnya dengan baik. Bila hal ini terjadi,
orangtua tidak perlu berkecil hati. Selama kegagalan tersebut tidak sering,
kegagalan itu tidak akan menjadi penghalang yang besar bagi anak untuk belajar
mengelola perasaan marahnya. (DL)
foto: pro.psychcentral.com